Prospek dan potensi
tanaman cengkeh di Indonesia ke depannya akan semakin tinggi mengingat
kebutuhan cengkeh dalam negeri maupun di pasar Internasional meningkat.
Meskipun tahun-tahun terakhir produksi cengkeh naik turun tetapi keberadaan
cengkeh masih menjadi komoditas penting di Indonesia. Saat ini Indonesia
merupakan negara produsen, sekaligus konsumen cengkeh terbesar di dunia. Dua
negara lain yang cukup potensial sebagai penghasil cengkeh adalah Madagaskar
dan Zanzibar (Tanzania) yang total produksinya sekitar 20.000 – 27.000
ton/tahun. Disamping itu ada enam negara sebagai produsen kecil yaitu Comoros,
Srilanka, Malaysia, Cina, Grenada, Kenya dan Togo dengan total produksi sekitar
5.000 – 7.000 ton/tahun. Arah pengembangan tanaman cengkeh dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu usaha pertanian primer, usaha agribisnis hulu dan usaha agribisnis
hilir (Deptan, 2007).
a. Usaha Pertanian
Primer
Pada usaha pertanian
primer, cengkeh di Indonesia lebih diutamakan sebagai bahan baku industri rokok
kretek. Rokok kretek merupakan rokok yang terbuat dari campuran tembakau dan
cengkeh. Sejarah penggunaan cengkeh untuk rokok diawali pada akhir abad ke-19
di Kudus dan berkembang pesat di awal abad ke-20 dengan berkembangnya industri
rokok kretek. Perkembangan itu sekaligus merubah posisi Indonesia dari negara
asal dan pengekspor terbesar menjadi produsen dan pengguna cengkeh
terbesar.
b. Usaha Agribisnis
Hulu
Usaha agribisnis hulu
berkaitan dengan penyediaan sarana produksi dalam budidaya tanaman cengkeh. Di
awal tahun 2000, peremajaan tanaman cengkeh yang rusak atau tidak produktif
lagi mulai digalakkan oleh pemerintah. Berbagai kebijakan diberlakukan dalam
rangka intensifikasi dan peningkatan produktivitas tanaman. Kegiatan tersebut
mendorong beberapa petani untuk melakukan usaha pembibitan meskipun dalam skala
kecil terutama di Pulau Jawa, Bali dan Sulawesi Utara. Pembibitan oleh petani
dilakukan dengan cara menyemaikan benih dalam polibag dengan menggunakan biji
asalan sebagai sumber benih. Setelah berumur 1 – 2 tahun, bibit dipasarkan ke
petani sekitar atau digunakan sendiri untuk rehabilitasi/menyulam kebunnya.
Selain itu agribisnis hulu juga berkembang dalam penyediaan alat dan mesin
pertanian untuk industri cengkeh.
c. Usaha Agribisnis
Hilir
Selain digunakan sebagai
bahan baku rokok, bunga, gagang dan daun cengkeh dapat disuling menghasilkan
minyak cengkeh yang mengandung eugenol. Hal inilah yang kemudian berkembang
sebagai produk sampingan cengkeh dalam agribisnis hilir. Pasokan minyak cengkeh
Indonesia ke pasar dunia cukup besar yaitu lebih dari 60% kebutuhan dunia.
Minyak cengkeh merupakan hasil penyulingan serbuk bunga cengkeh kering. Minyak
atsiri jenis ini memiliki pasaran yang luas di industri farmasi, penyedap
masakan dan wewangian. Salah satu sentra minyak atsiri di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah Kabupaten Kulon Progo, tepatnya di Kecamatan
Samigaluh. Di kecamatan tersebut terdapat kelompok usaha minyak atsiri yang
terdiri dari 22 (dua puluh dua) pengusaha kecil. Sebagian besar minyak atsiri
yang dihasilkan adalah minyak daun cengkeh. Tanaman cengkeh dapat digunakan
untuk menghasilkan minyak cengkeh (clove oil), minyak tangkai cengkeh (clove
stem oil), dan minyak daun cengkeh (clove leaf oil).
Perhatian pemerintah
daerah terhadap industri minyak daun cengkeh cukup baik. Pemerintah melalui
Departemen Pertanian telah memberikan pelatihan-pelatihan mengenai pengembangan
usaha minyak atsiri termasuk minyak daun cengkeh untuk meningkatkan daya saing
minyak atsiri melalui peningkatan mutu, harga yang kompetitif dan keberlanjutan
suplai melalui pembinaan yang terintegrasi oleh instansi terkait. Industri
minyak daun cengkeh ini tidak saja memproduksi minyak daun cengkeh sebagai
komoditas ekspor yang menghasilkan devisa, tetapi juga menyerap tenaga kerja yang
cukup banyak. Setiap unit usaha dapat menyerap tenaga kerja rata-rata 6 orang
di unit penyulingannya dan seratus orang lebih sebagai tenaga pencari
(pengumpul) daun cengkeh.
Penulis: Muhandas
Rifqi Wikana, Dwi Ayu Setyawati, Siska Ernitawati, Priska Widyaningrum, Nabilla
Dias Faradila. Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.